Selasa, Agustus 17, 2010

RICARDO "Kaka"


BIODATA
Nama : Ricardo Izecson dos Santos Leite
Lahir : Brasilia, Brazil, 22 April 1982
Klub : Real Madrid
Tinggi/Berat : 186 cm/73 kg
Posisi : Gelandang Serang (Attacking Midfielder)
Nomor Punggung : 22 (AC.Milan), 8 (Real Madrid)
Karir :
Sao Paulo, 2000-2003
Tim Nasional Brazil, 2002 - sekarang
AC Milan, 2003-2008
Real Madrid, 2009-

Prestasi di Klub :
Torneio Rio (Sao Paulo), 2001
Supercampeonato Paulista (Sao Paulo), 2002
European Super Cup, 2003
Runner Up Intercontinental Cup, Juara Seri A, dan Juara Italian Super Cup (AC Milan), 2004
Runner Up Liga Champion UEFA, 2004-2005
Juara Liga Champion UEFA, 2006-2007
Prestasi Nasional (Brazil) :
Juara FIFA World Cup, 2002
Runner Up CONCACAF Gold Cup, 2003
Juara Piala Konfederasi, 2005
Prestasi Pribadi :
Golden Ball (Pemain Terbaik Liga Brasil) dan Silver Ball (Pemain Terbaik untuk Gelandang Serang), 2002
Pemain terbak ke-11 CONCACAF Gold Cup, 2003
Pemain Tengah (Midfielder) Terbaik versi UEFA Club Football, 2004-2005
Pemain Terbaik Seri A, 2004 dan 2006
Top Skor Liga Champion UEFA, Pemain Favorit Liga Champion UEFA, Best Forward Liga Champion, dan Pemain Tim Terbaik UEFA, 2006-2007

Ricardo Izecson Santos Leite Kaka

Kaka, nama ini pernah mengecoh. Ini terjadi ketika manajer umum klub sepakbola Juventus, Luciano Moggi, berkomentar menertawakan, ketika nama Kaka beredar di bursa pemain-pemain baru dari Brazil, “Kaka? Kami tidak akan pernah mengontrak pemain dengan nama sperti itu!”
Namun yang celaka ternyata justru nama Luciano Moggi itu, karena akan ikut disebut setiap kali anekdot ini diceritakan kembali, yang memang selalu terjadi setiap kali Kaka membuktikan, betapa nama “seperti itu” tidak perlu mengalanginya menjadi salah satu pemain sepakbola besar yang pernah lahir di muka bumi. Tahun 2007, tak kurang dari dua gelar penting diraihnya sekaligus, European Footballer of the Year dan FIFA Player of the Year. Tak lebih dan tak kurang inilah berkat peranannya membawa AC Milan, tempat ia pernah bergabung, menjadi juara Liga Champions Eropa, maupun menjadi juara Piala Dunia Antarklub FIFA, di Jepang. Dalam kejuaraan terakhir itu pun Kaka dinobatkan sebagai pemain terbaik.
Dalam usia 25 tahun kala itu, kaka bagaikan telah memiliki segalanya: ketampanan, keterampilan, kemasyhuran dan kekayaan. Siapakah Kaka yang namanya semula dianggap aneh itu?

Anak orang kaya
Kaka dilahirkan di Kota Brasilia dengan nama Ricardo Izecson Santos Leite sebagai anak dari Bosco Leite, seorang insinyur yang sukses dalam pekerjaannya, sehingga menduduki posisi sosial kelas menengah - yang biasanya tidak menjadi lading subur pemain sepakbola.
Di Brazil sepakbola merupakan jembatan emas, bukan hanya bagi kelas bawah, tetapi bahkan juga kelas terbawah, seperti bisa dibaca dalam riwayat para pemain sepakbola terkenal. Mulai dari Pele sampai Romario, bahkan juga Ronaldo dan Ronaldinho yang masih bermain sekarang ini, berasal dari favella atawa slum alias perkampungan kumuh yang menjadi kontras dunia gemerlap Brazil. Dari menendang bola plastik di sembarang lingkungan, para pemain besar Brazil tumbuh nyaris secara alamiah, dengan cara bermain yang tidak terdapat dalam buku, sehingga permainannya begitu memukau bagaikan seni pertunjukan. Bukankah hanya pemain Brazil yang lazim disebut seniman bola?
Agak lain halnya dalam perkara Kaka. Usianya masih empat tahun ketika keluarganya pindah ke Curitiba, di bagian selatan Brazil, dan tiga tahun kemudian ke Sao Paulo. Saat itu, artinya ia berusia tujuh tahun, guru olahraganya menganjurkan ke-pada Simone, ibunya Kaka yang guru matematika, agar anak itu dimasukkan ke sekolah sepakbola. Dengan segera Kaka menjadi anggota, dan tahun 1997, pada usia 15, ia sudah terpilih untuk masuk tim yunior klub terkenal itu. Prestasi macam ini, bagi pemain yang berasal dari kelas bawah tidak menimbulkan masalah, karena memang tidak ada pilihan lain. Tapi bagi Kaka cukup menyulitkan, karena pilihan lain selain main bola masih luas terbentang. Maka orangtuanya pun membantunya untuk mengambil keputusan. “Mereka tunjukkan kesulitan yang akan saya hadapi kalau mau jadi pemain sepakbola”.
            ”Dan juga kalau belajar untuk jadi insinyur seperti ayah saya. Lantas mereka bilang, Sekarang terserah kamu. Akan kamu temukan suka dan duka dalam keduanya, tetapi pilihan berada di tanganmu dan kami akan mendukungnya.” Kita semua sudah tahu pilihan Kaka. Pilihan yang membuatnya berjumpa dengan banyak pemain dari latar belakang berbeda. Dalam suasana persaingan, potensi konflik jelas terbuka, dan sekali lagi sikap dan tindakan orangtuanya menyelamatkan Kaka.
            ‘‘Kita mendapatkan posisi istimewa dalam hidup, tetapi kita juga tahu betapa berat hidup jauh dari keluarga’’, kata ayah saya, karena itu kami biasa mengundang teman-teman yang tinggal di asrama klub untuk tinggal bersama kami saat liburan. Mungkin ini yang saya tak punya prasangka, yakni karena saya berasal dari kelas sosial yang berbeda
Dalam tuntutan dunia sepak bola, tentu sangatlah penting bahwa Kaka bukan sekadar anak orang kaya, tetapi memang bisa main bola. Tostao, pemain tim Brazil yang memenangkan Piala Dunia Jules Rimet tahun 1970 adalah pengagum Kaka sejak awal. Pada Maret 2002, menjelang Piala Dunia 2002, ia bah-kan menulis: “Pemain besar menyederhanakan segalanya. la tidak membuang waktu atau jadi bingung. Inilah yang membuat saya terpesona kepada Kaka. la mengoper, ia menerima, ia menembak, dan melakukan semuanya dengan teknik luar biasa. Kaka sudah siap untuk Piala Dunia ini.”
Namun ternyata, meski Brazil saat itu menjadi juara dunia ke lima kalinya, Kaka hanya bermain beberapa menit melawan Costa Rica, ketika Brazil sudah dipastikan lolos ke babak berikutnya
.
Sepuluh langkah ambisius
Ambisi bukanlah tabu dalam tradisi yang membentuk Kaka. dalam ilmuwan sosial Max Weber, untuk menghubungkan tradisi kerja keras dalam Protestanisme yang telah membentuk mentalitas baru, menumbuhkan industri dan kerja tetap, kepada apa yang disebut kebajikan. Protestanisme dalam puluhan tahun belakangan, telah melakukan langkah-langkah besar di Brazil yang mayoritasnya menganut Katolik, terutama di antara golongan miskin. Perubahan ke arah “kanan” dalam politik gereja Katolik, dan terkurangkan-nya perhatian kepada masalah sosial, menciptakan keadaan vakum yang telah diisi dalam skala tertentu oleh berbagai organisasi Protestan.
Adapun gereja evangelis yang disebut Renascer (kelahiran kembali) tempat Kaka tumbuh sangatlah berbeda, karena hanya melayani jemaat dari kelas menengah, dan lebih menekankan Protestanisme seperti yang dikenali Weber. sejarawan ekonomi David Landes, tentang tujuan sistem kepercayaan itu, “Membentuk jenis manusia baru yang rasional, teratur, rajin, produktif.” Suatu deskripsi yang sangat cocok dengan Kaka, yang dengan jelas menyatakan dalam salah satu wawancara awalnya di tahun 2002, bahwa kepercayaannya berhubungan langsung dengan kehendaknya mencapai sukses duniawi. “Ketika saya menyimpang dari jalan Tuhan, saya menangis,” katanya, meski dengan senyuman mengakui, bahwa salah satu tugasnya di tim Sao Paulo adalah sengaja melakukan pelanggaran, untuk menghentikan counter-attack pihak lawan. Tanpa harus merasa bersalah, ia menempatkan sepakbola dalam konteks bisnis. “Saya melihat diri saya sebagai perusahaan,” ujarnya, “Saya memberikan pelayanan kepada Sao Paulo. Saya harus melakukannya dengan baik. Jika perusahaan saya berjalan baik, maka klien saya, Sao Paulo, akan puas dengan saya. Maka sayapun akan mendapat bayaran dan menabungnya. Lantas saya akan mencari klien yang lebih besar, tim nasional atau klub luar negeri. Jika Sao Paulo mau menjual jasa saya, maka mereka dapat melakukannya.”
Sikap seperti ini, lebih teruji setelah Kaka mengalami kecelakaan di kolam renang pada tahun 2000. Tulang belakangnya retak ketika membentur dasar kolam, dan dikhawatirkan akan retak permanen. Tak kurang dari dua bulan dibutuhkan perawatan intensif, yang kesembuhannya justru dilihat Kaka sebagai tantangan baru.
Meski dalam tim yunior Sao Paulo pada 2001 ia cuma seorang pemain cadangan, dirancangnya “sepuluh langkah sukses” sebagai berikut:
1. Bermain lagi
2. Direkrut Sao Paulo sebagai profesional
3. Termasuk dalam 25 anggota tim senior Sao Paulo
4. Termasuk dalam 18 anggota tim yang terlibat dalam permainan
5. Menjadi pemain starter dalam tim yang 11 orang
6. Bermain dalam Kejuaraan Dunia Yunior
7. Dipanggil masuk tim nasional senior Brazil
8. Bermain untuk Brazil
9. Bermain dalam Piala Dunia
10. pindah ke klub besar di Italia atau Spanyol.
Tidakkah Kaka, dalam usia belum 19 tahun, terlalu percaya diri? Dalam kenyataannya, urutan 1 sampai 9 dari sasaran itu berhasil dicapainya dalam waktu tak kurang dari 18 bulan! Sukses Kaka dimulai ketika pelatih Oswaldo Alvares mengambil peluang untuk mempromosikannya dalam tim profesional. Kaka mencetak dua gol dan Sao Paulo mengalahkan Botafogo dalam final turnamen Rio-Sao Paulo. Lahirlah fenomena baru yang dicatat pers sebagai “Caca” (”kaka”) - mengikuti ucapan adik kecilnya yang sulit mengucapkan “Ricardo”. Maka sang pahlawan yang mencetak gol itu mengumumkan, bahwa ia lebih suka namanya dieja sebagai “Kaka”.
Wajah tampan Kaka yang tergandakan begitu rupa oleh media massa membuat seluruh Brazil jatuh cinta kepadanya. Dalam bulan-bulan berikutnya, disebutkan betapa gadis-gadis remaja berteriak histeris sampai pingsan-pingsan setiap kali bola datang ke arah Kaka.

Sebegitu jauh, riwayat seperti itu masih belum dianggap terlalu sukses, karena gelar kemenangan Rio-Sao Paulo hanyalah suatu gelar pra-musim kompetisi. Sao Paulo tak pernah meraih gelar apa pun sejak 1991, dan meski sempat memenangi Piala Libertadores, tahun berikut dan seterusnya bahkan tak lolos babak kualifikasi
Popularitas Kaka di Brazil kemudian membuat semua orang berharap kepadanya. Memang, klub Sao Paulo sering diejek sebagai klub “bambi” karena merupakan klub yang dimiliki kelompok elite kota itu, tentu dengan kaka, berkat latar belakang kekayaannya, sebagai “bambi-in-chief”, bisa ditebak apa yang berlangsung ketika sukses tak kunjung diraih klub itu sendiri, yakni bahwa semua tanggung jawab seolah terletak di punggung Kaka.
Seorang psikolog olahraga di Brazil, yang dipekerjakan untuk tim Piala Dunia 2002, Regina Brandao, berkata: “Ketika seorang pemain tampak menonjol, harapan kepadanya menjadi tinggi. la terus mengulang tingkat permainan yang selalu sama, yang merupakan tanggung jawab terlalu banyak bagi anak usia 20 seperti Kaka.”
Ketika akhirnya pencari bakat dari klub-klub Eropa mengendusnya, dengan segera pada Agustus 2003 ia telah menginjak Kota Milan setelah ditransfer klub terkemuka dunia, AC Milan. Minggu-minggu pertama bukan tak dilaluinya dengan keraguan. Di tim Brazil, posisi Kaka tenggelam dalam bayang-bayang Rivaldo jika bahkan Rivaldo di klub AC Milan tidak mendapat tempat yang tetap, akan bagaimanakah kiranya nasib Kaka?
Namun pelatih AC Milan yang berpengalaman, Carlo Ancelotti, tak pernah melihat permainannya segera tahu posisi terbaik Kaka, yang kemudian akan menjadi pemain dengan bayaran termahal di Italia. Jika di Sao Paulo ia berperan hanya sebagai striker, sebagai penerima bola terakhir yang tugasnya mencetak gol, tetapi prakteknya beroperasi terlalu dalam, sehingga gaya langsungnya (tembakan akurat yang lurus) mudah dipatahkan, maka Ancelotti menempatkannya lebih dekat kepada striker lain, tetapi yang dilindungi oleh tiga pemain tengah di belakangnya. Jadi ia mesti menjemput bola itu sekitar 40 meter (yang bisa dilaluinya dalam 3,8 detik) dari ga-wang. Kaka berkembang dengan itu. la seperti telah siap untuk permainan sepakbola Eropa.
Sebaliknya, ini menjadi masalah ketika ia kembali ke tim Brazil, “Baik saya maupun Ronaldinho terbiasa dengan posisi yang tidak usah mengkhawatirkan pemain belakang lawan. Dengan hanya dua pemain tengah di belakang, kami harus bergerak lebih ke belakang, dan ini mengubah gaya permainan”. Dalam Piala Dunia 2006, Brazil tersingkir di perempat final oleh Prancis, karena kepiawaiam Zinedine Zidane membaca keadaan itu.
Top scorer
Meski begitu, dalam Liga Champions Eropa yang telah dimenangkan AC Milan, Ancelotti lagi-lagi mengubah strategi, dengan mendorong Clarence Seedorf maupun Kaka, yang keduanya semula bermain di tengah, ke depan. “Saya terbiasa bermain dengan dua pemain di depan saya,” ujar Kaka“Mula-mula saya merasa agak terpana, tetapi lantas saya sudah harus berusaha untuk belajar, untuk berubah, selama tim bermain lebih baik dengan cara itu dan merasa lebih seimbang. Sedikit demi sedikit, saya mendapatkan gerak dan tempo yang disyaratkan dari posisi baru saya, dan saya sekarang merasa sangat nyaman.”
Betapapun, posisi itu memang memberi peluang lebih bagi Kaka untuk mencetak gol  dan ia telah memanfaatkannya sampai menjadi Top Scorer dengan 10 gol pada Liga Champions Eropa 2006/2007 itu. Kini, Ancelotti membebaskan Kaka bermain di posisi mana saja, ke mana saja insting membawanya.
Mengapa Kaka begitu mudah menyesuaikan diri, ketika “masalah kebudayaan” sering menjadi ganjalan utama para pemain Brazil yang bermain di Eropa?
“Saya memang ingin bermain di Eropa. Saya putuskan untuk memanfaatkan kesempatan ini bukan hanya secara profesional, tetapi untuk berkembang sebagai pribadi. Saya memilih untuk menjadi bagian dari tempat ini, untuk belajar,” ujar Kaka,
yang telah dengan penuh perhitungan memasang angka 10 untuk tingkat kesulitan yang akan dihadapinya, dan ternyata hanya mengalaminya sebagai 5 saja. “Saya suka apa pun yang ada di sini. Saya suka makanannya, saya belajar bahasanya, dan tentu ini membantu saya untuk menyatu dengan rekan-rekan tim saya,” kisahnya, lagi.
Penting diketahui, bahwa dengan pasti Kaka telah menjadi tokoh penting di AC Milan. “Kalau sudah bicara, ia seperti jauh lebih dewasa,” ujar Andrii Shevchenko, rekannya asal Ukraina yang sudah pindah ke klub Chelsea di Inggris. “Ia seorang pemain berbakat, seseorang yang berkepribadian, dan Professional besar yang telah memenangkan rasa hormat siapapun,” ujar Ancelotti.
Sedangkan Emerson, sesama pemain Brazil di AC Milan yang lebih senior, berkata, “la memiliki kepemimpinan alamiah, yang datang dari kepribadiannya. Orang bisa melihat bahwa ia mampu mengungkapkan dirinya sendiri, bahwa ia telah mendapatkan pendidikan yang baik. Jadi ketika ia menyatakan pendapatnya, semua orang mendengar.
Sepakbola dan pematangan kepribadian
Telah disebutkan bagaimana Kaka memandang sepakbola tak hanya sebagai pekerjaan, tetapi juga wahana pengembangan diri. Dalam hal itu, dengarkanlah bagaimana Kaka memandang Paolo Maldini, pemain belakang AC Milan dan Italia, satu dari sangat sedikit pemain belakang yang pernah menerima gelar FIFA Player of the Year, yang dalam usia 40 tahun masih membela klub maupun negerinya.
“Waktu saya datang ke Milan, Paolo adalah pemain yang saya pelajari dengan cermat,” katanya, “Saya selalu tersentak oleh kenyataan, bahwa pemain dengan sukses yang sudah begitu banyak dan sangat terkenal, selalu menjadi orang pertama yang tiba di tempat latihan, yang pertama dalam melakukan segalanya. Saya selalu bertanya kepada diri saya sendiri: ‘Dari manakah kiranya ia mendapat motivasi itu?’”
Pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “Semua itu tergantung kepada kepribadian. Secara konstan ia selalu melakukannya dan ia adalah pemenang sejati. Begitulah ia telah dilahirkan, dan begitulah ia akan selalu melanjutkannya. Kita tidak bisa belajar dari hal-hal penting seperti itu di sembarang tempat. Kepribadiannya selalu menentukan perbedaannya dengan yang lain sepanjang kariernya.”
Nah, apakah Kaka, yang telah menikahi Caroline Celico pada 2005, dan tetap bertahan di AC Milan meski telah ditawar oleh klub Real Madrid sebesar 90 juta Euro dan Manchester City sebesar 175 jt Pounds lantas, ingin mengikuti seluruh prestasi Maldini, yang telah bermain setidaknya dalam delapan final Liga Champions Eropa? “Entahlah. Paolo mewakili suatu gaya, suatu kepemimpinan, seorang pemain yang fit 100 persen dalam definisi profesional sejati, dalam standar kemahiran tingkat tinggi permainan ini. Adalah suatu kehormatan bagi saya bermain dalam satu tim dengannya.”
Dengan demikian, jika kehidupan dari saat ke saat mestinya mematangkan kepribadian, sepakbola bukanlah perkecualian.

Masa kecil

Kaká dilahirkan di Brasília, Brazil pada tanggal 22 April 1982, ia merupakan anak dari pasangan Simone Cristina dos Santos Leite dan Bosco Izecson Pereira Leite. Kaká mempunyai adik laki-laki, Rodrigo, yang dikenal sebagai Digão, yang mengikuti langkahnya bermain bola di Italia.
Nama panggilannya Kaká, diambil dari bahasa aslinya, Bahasa Portugis, yang diucapkan seperti ejaannya, dengan penekanan pada suku kata kedua yang ditandai dengan aksen. Itu biasa dipakai untuk menyingkat nama "Ricardo" di Brasil, bagaimanapun juga, Kaká mendapatkan nama panggilannya dari adiknya, Rodrigo, yang tidak bisa mengucapkan kata "Ricardo" ketika mereka masih kecil. Rodrigo memanggil kakaknya "Caca" yang kemudian berganti menjadi Kaká. Di Eropa ia dikenal dengan pamnggilan RickyKaka.
Pada bulan September 2000, di usia 18 tahun, Kaká mengalami ancaman pada karirnya dan kemungkinan patah tulang belakang yang menyebabkan lumpuh sebagai akibat dari sebuah kecelakaan kolam renang. Hal yang terburuk tidak terjadi dan Kaká pulih sepenuhnya dari insiden itu. Dia bersyukur kepada Tuhan atas kesembuhannya dan sejak saat itu ia menyumbangkan penghasilannya untuk gerejanya.

Karir klub

Kaká menandatangani kontrak dengan São Paulo pada usia 15 tahun dan memimpin tim juniornya pada kemenangan ‘Copa de Juvenil’. Ia memulai debutnya di São Paulo FC tahun 2001 ketika di berusia 18 tahun. Pada musim pertama, ia mengoleksi 12 gol dalam 27 pertandingan dan 10 gol dalam 22 pertandingan di musim berikut. Pada usia 17 tahun, ketika ia masih dalam tim junior, Sao Paulo berniat menjual Kaká ke tim dari Liga divisi 1 Turki, Gaziantepspor. Transaksi tidak terjadi, karena manajer Gaziantepspor, Nurullah Sağlam, dan dewan pengurus tim itu menolak untuk membayar $1.5m untuk pemuda 17 tahun itu. Setelah bergabung dengan tim senior São Paulo FC, penampilan Kaká menarik perhatian klub-klub Eropa.
Dia bergabung dengan AC Milan dengan bayaran US $8.5 m, jumlah yang dianggap sedikit oleh pemilik klub Silvio Berlusconi. Dalam sebulan, ia telah masuk ke dalam tim utama dan sejak saat itu pula ia menjadi starter. Debutnya di Serie A adalah ketika Milan bertandang melawan A.C. Ancona, menang 2-0. Dia menghasilkan 10 gol dalam 30 pertandingan pada musim itu, memenangkan Serie A dan Piala Super Italia.
Kaká adalah bagian inti dari lima orang pemain tengah pada musim 2004-2005, biasa bermain dalam posisi penyerang bayangan dibelakang striker Andriy Shevchenko. Dia mengoleksi 7 gol dalam 36 pertandingan liga dan juga memenangkan Piala Super Italia bersama dengan klubnya. Milan meraih posisi kedua setelah Juventus di Serie A dan dalam partai final dengan Liverpool pada adu penalti di Piala/Liga Champions.
Salah satu gol Kaká yang sangat menakjubkan adalah ketika melawan Fenerbahçe SK di pertandingan pertama AC Milan dalam Piala/Liga Champions 2005-06, Rossoneri menang 3-1. Gol itu membuatnya disamakan dengan Diego Maradona, karena Kaká memulai larinya dari tengah lapangan dan melewati tiga ganjalan sebelum memasuki daerah penalti dan menyelesaikannya dengan shot rendah di bawah kiper Fenerbahçe, Volkan Demirel.
Pada 9 April 2006, ia membuat tiga gol pertamanya dalam pertandingan melawan Chievo Verona. Ketiga golnya dihasilkan pada babak pertama. Pada 2006, Real Madrid menunjukkan ketertarikannya menggaet bintang 25 tahun ini, tetapi Milan dan Kaká menolak untuk menjual. Kaká telah menandatangani perpanjangan kontrak dengan Milan hingga 2011.
Pada 1 November 2006, AC Milan lolos babak penyisihan Piala/Liga Champions setelah Kaká membuat tiga gol yang membantu timnya menang 4-1 melawan R.S.C. Anderlecht. Ini adalah tiga gol keduanya di Milan dan tiga gol pertamanya di kompetisi Eropa.

Tim Nasional

Kaká melakukan debut internasionalnya pada bulan Januari 2002 dalam pertandingan melawan Bolivia. Dia adalah bagian dari tim nasional yang menang pada Piala Dunia 2002, tetapi aksinya tidak terlalu terlihat karena hanya bermain 19 menit di babak pertama pertandingan Kosta Rika. Pada tahun 2003, dia menjadi kapten tim dalam turnamen Piala Emas di Amerika Serikat dan Meksiko, memimpin Brasil ke posisi kedua dan membuat gol yang menentukan dalam pertandingan melawan Kolombia. Setelah itu, dia beraksi di Piala Konfederasi 2005, dengan Kaká menciptakan gol dan menang dalam pertandingan final melawan Argentina (dalam perayaan setelah pertandingan, dia dan rekan-rekan setimnya memakai T-shirt dengan tulisan "Jesus Loves You--Yesus mencintaimu" dalam berbagai bahasa.) Dia berhasil mendapat tempat ke-10 dalam voting penghargaan untuk FIFA World Player of the Year 2004. Pada kompetisi tahun 2005, ia naik dua peringkat lebih tinggi. Terakhir, ia membantu Brasil dalam masuk kualifikasi pada Piala Dunia 2006. Kaká semakin matang sebagai pemain dan dianggap sebagai salah satu pesepak bola terbaik dari Brasil. Dia mencatatkan gol pertama Brazil di Piala Dunia 2006 pada pertandingan melawan Kroasia tanggal 13 Juni 2006. Pada 3 September 2006 dia menyumbangkan salah satu gol briliannya untuk tim Brazil setelah melakukan umpan yang membuahkan gol kepada pemain yang baru masuk, Elano Blumer. Kaká mendapat bola dari pantulan sepak pojok Argentina, dan mengambil bola dari ¾ lapangan lalu mencetak gol. Pada 15 November 2006, Kaká dipilih sebagai kapten Brazil dalam pertandingan persahabatan melawan Swiss karena absennya kapten Brasil sebelumnya, Lucio yang disebabkan oleh cedera.

Piala Dunia 2006

Pada pertandingan pertama Brasil di grup F, Kaká mencetak gol di menit ke-44 saat melawan Kroasia. Tendangan kaki kiri dari jarak 25 meter membuat Brazil meraih kemenangan 1-0. Media menganggap Kaká sebagai satu-satunya anggota dari "magic quintet" – Adriano, Kaká, Ronaldo, Robinho and Ronaldinho yang dihasilkan dalam pertandingan itu. Dan juga ketika melawan Ghana dia mencatatkan dirinya dalam sejarah dengan mengumpan kepada Ronaldo, yang akhirnya menghasilkan gol, sehingga Ronaldo memecahkan rekor Gerd Müller, gol terbanyak di Piala Dunia. Kaká ternyata tidak dapat meneruskan kinerjanya ke pertandingan selanjutnya dan Brasil dikalahkan oleh Perancis di perempat final.

Kehidupan pribadi dan agama

Kaká menikahi Caroline Celico di Gereja pada 23 Desember 2005, dua tahun setelah kepindahan Kaká dari Sao Paulo ke Milan. Caroline dilahirkan pada 26 Juli 1987, anak dari Rosangela Lyra, direktur Dior di Brazil dan Celso Celico, seorang pengusaha. Dia dan Kaká bertemu pada tahun 2001 ketika ia masih seorang menjadi seorang siswi dan Kaká masih bermain untuk São Paulo Football Club. Pernikahannya dihadiri 600 orang, termasuk rekan-rekan pesepak bola: Cafu, Ronaldo, Adriano, Dida, Júlio Baptista dan juga pelatih nasional Brasil, Carlos Alberto Parreira. Caroline berencana mendapatkan gelar sarjana bisnis dari universitas di Milan.
Kaká adalah seorang penganut Kristen yang taat. Dia dikenal suka memakai Christian gear dari dulu: dia pernah memakai T-shirt dengan tulisan I Belong to Jesus dalam beberapa pertandingan, seperti saat perayaan kemenangan Brasil di Piala Dunia 2002, dan perayaan Scudetto Milan pada Mei 2004. Dia menggunakan sepatu yang ditambah dengan tulisan pada lidah sepatunya. Tiap kali ia mencetak gol dia menunjuk dengan jari-jarinya ke langit sebagai tanda terim kasihnya kepada Tuhan dan mungkin ini yang pertama bagi seorang pesepak bola yang di levelnya: Dia bangga bahwa dia masih virgin ketika dia menikah.
Anda perlu tahu bahwa tidak seperti kebanyakan pemain bola lainnya, minuman yang disukai Kakà hanyalah air putih dimana kebanyakan pesepak bola lainnya lebih suka menenggak minuman-minuman keras sambil berpesta di bar. Walau sempat diremehkan rekan-rekannya, ia tetap konsisten pada pendiriannya sehingga akhirnya ia justru dihormati teman-temannya, keukaanya mendengar musik gospel juga aneh di kalangan pemain yang lain ia sangat mengidolakan penyanyi gospel Brasil, Aline Baros. Kakà suka dengan kepribadiannya yang saleh. Semua rekan-rekannyanya sama sekali tidak mengetahui Aline Baros karena mereka mungkin lebih memilih musik bertipe rock, dan lain-lain. Hal ini pulalah yang dulu membuat hubungan Kakà dan Andriy Shevchenko sangat dekat, Shevchenko juga seorang pribadi religius sehingga Kakà merasa begitu dekat dengannya, namun hubungan itu harus terputus setelah Shevchenko pindah ke Chelsea musim 2006, tetapi Kakà terkadang masih menyempatkan diri menghubungi Shevchenko. Kakà sangat menyukai warna putih yang melambangkan kesucian serta ketulusan. Kakà sangat suka berdoa, bahkan ia sering mengajak rekan-rekannya turut berdoa. Kakà termasuk seorang penggila mobil Ferarri, ia suka dengan modelnya yang sporty dan elegan. Kakà juga mengidolakan aktor Tom Hanks.

Serba-Serbi

Kaká adalah anggota organisasi "Athletes of Christ". Dalam bahasa Italia, bahasa klubnya sekarang, padanan kata fonetisnya tertulis sebagai Kakà. Bagaimanapun juga, nama yang tertulis di kaos pemain dieja KAKA'(dengan tanda petik satu, bukan A dengan aksen) baik di klubnya di Milan maupun di tim nasional Brazil dulu. Pada Piala Dunia 2006, bagian punggung kaosnya tertulis KAKÁ. Kaká juga diambil dari bahas Portugis. Sejak November 2004, Kaká telah menjadi duta Against Hunger untuk Program World Food PBB. Dia adalah duta yang paling muda pada saat dia ditunjuk.
Musik favorit Kaká adalah musik gospel.  Moto hidup Kaká adalah "I belong to Jesus" dan "God is faithful", yang ia jahitkan pada lidah sepatu Adidas Predator Absolutenya.

        Prestasi

          Klub

  •             Serie A: 2004


        
       Internasional
  •            Piala Dunia        : 2002
  •           Piala Konfederasi   : 2005 , 2009

       Prestasi individu
  •          Bola de Ouro (Golden Ball; Pemain Terbaik Liga Brazil), 2002
  •          UEFA Club Football Awards 2004-05, Pemain Tengah Terbaik
  •          Topscorer Champions League 2006-07 (10 gol)
  •          Pemain Terbaik Dunia FIFA 2006-07
  •          Ballon d'Or (2007)